Our Blog

Lamuri dan Fansur

Mengenai Lambri Batak

Para ahli geografi sejarah setuju bahwa toponim, yang dikenal di abad ke-12 tahun Cina, Lamuri dan, yang dikenal pada akhir milenium pertama bagi bangsa Arab, al-Ram(n)I, Ramri atau Ramli terletak di wilayah Kuta Raja yang sekarang dikenal dengan nama Banda Aceh, barat daya Sumatera.

Era pelayaran yang mengarungi Laut India dari India Selatan dan Sri Langka ke Asia Tenggara ditentukan oleh bulan purnama. Pelayaran ke arah timur biasanya dilakukan antara bulan April dan September, bersama Bulan Purnama Barat Laut. Sementara itu pelayaran ke arah Barat dilakukan antara bulan Oktober dan Maret, bersama Bulan Purnama Timur Laut.

Para saudagar dan pelaut Asing telah mengenal Lamuri atau Lambri sejak abad ke-9. Namun siapakah yang menghuni daerah tersebut sebelumnya. Dugaan kuat adalah bahwa penduduk daerah tersebut adalah keturunan Batak dari marga Lingga yang datang dari tanah Gayo.

Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11 (Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9 M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.

Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.

Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.

Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.

DINASTI BATAK (LINGGA)

1. Raja Lingga I di Gayo
a. Raja Sebayak Lingga di Tanah Karo. Menjadi Raja Karo
b. Raja Marah Johan (pendiri Kesultanan Lamuri)
c. Marah Silu (pendiri Kesultanan Samudera Pasai), dan
2. Raja Lingga II alias Marah Lingga di Gayo
3. Raja Lingga III-XII di Gayo
4. Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533 terbentuklah Kerajaan Johor baru di Malaysia yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Mansyur Syah. Raja Lingga XIII diangkat menjadi kabinet di kerajaan baru tersebut. Keturunannya mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Raja-raja di Sebayak Lingga Karo tidak terdokumentasi. Pada era Belanda kembali diangkat raja-rajanya tapi hanya dua era
1. Raja Sendi Sibayak Lingga. (Pilihan Belanda)
2. Raja Kalilong Sibayak Lingga

Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohon-pohon kapur yang tinggi,"( Tibbetts, Arabic Texts, pp. 27-28).

Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit" (Ibidv p. 25). Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka. See Wolters, Early Indonesian Commerce, p. 178) Keberadaan kafur juga menunjukkan lokasi Barat Laut Sumatera.

Nama tersebut juga disebutkan oleh Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya): "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persianfarsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent. Tibbetts, Arabic Texts, p. 3) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya."

Dan kira-kira tahun 943, Masudi menjelaskan bahwa:

Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi. (Ibid.,pp. 37-38)

Buku 'Ajaib al-Hind', yang ditulis kira-kira tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan bahwa:

Di Pulau Lamuri terdapat zarafa (Van der Lith, Livre des Merveilles de lΊnde, identifies the zarafa as the two-horned Sumatran rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis). See Tibbetts, Arabic Texts, p. 140.) yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka menghindari mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri yang jumlahnya membludak.

Dia menambahkan bahwa seorang pelaut menceritakan bahwa di "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri." (Ibid., pp 44-45)

Referensi lain mengenai Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai informasi tersebut di atas. Nama Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. (Ibid., p.50). Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325. (Cowan,"Lamuri," p. 421).

Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam peang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025. (K. A. Nilakanta Sastri, History of Srivijaya (Madras: University of Madras, 1949), pp. 80, 81.)

Seorang ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atawa Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India. (Almut Netolitzky, Das Ling-wai Tai-ta von Chou-chu-fei (Weisbaden: Heiner Verlag, 1977), pp. 40-41)

Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…."(Friedrich Hirth and W. W. Rockhill, Chau Ju-kua: His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, Entitled Chu-fan-chi (St. Petersburg: Imperial Academy of Sciences, 1911), p. 72). Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei:

Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan. (Ibid., p. 114. Hirth and Rockhill note that 'This (is) partly taken from Chou K'u-fei... ships leaving Ts'uanchou during or after the eleventh moon (December) and sailing with a northerly wind can make the country called Lan-li in forty days. Here they trade, buying sapan-wood, tin and long white rattans. The following year, in winter, they set to sea again and, with a north-easterly wind favouring them, they make the voyage to this country of Ma-li-pa (i.e. the Hadramaut coast of Arabia) in some sixty days." Ibid., pp. 119-20).

Sebagai tambahan mengenai informasi geografi dan ekonomi seputar Lan-wu-li, Chau Ju-kua memberikan informasi sekilas mengenai situasi politik pada era akhir abad ke-12. Dia mengatakan bahwa Lan-wu-li dalam daftar negara-negara yang 'tergantung' kepada imperium Sriwijaya (Srivijaya at this time was presumably centered on Muara Jambi on the Batang Hari. See O. W. Wolters, "A Note on the Capital of Srivijaya during the Eleventh Century," in Essays Offered to G. H. Luce, ed. B. Shin, A. J. Boisselier, and A. B. Griswold, 2 vols. (Ascona: Artibus Asiae, 1966), 1:225-39. (See E. Edwards McKinnon and Tengku Luckman Sinar, "A Note on Pulau), yang termasuk di dalamnya Kien-pi (mungkin bernama pulau Kompei di teluk Aru), (See E. Edwards McKinnon and Tengku Luckman Sinar, "A Note on Pulau Kumpeh in Aru Bay, Northeastern Sumatra," Indonesia 32 (1981): 49-73. Chau's references to Kompei or Kumpeh do, however, mention tin which comes either from the Malay peninsula or from islands offshore southeastern Sumatra. The references may include information relating to Muara Kumpeh on the Batang Hari in Jambi. See also E. Edwards McKinnon, "A Brief Note on Muara Kumpeh Hilir: An Early Port Site on the Batang Hari," SPAFA Digest 3, 2 (1982): 37-40, and "New Data for Studying the Early Coastline in the Jambi Area," Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (hereafter JMBRAS) 57, 1 (1984): 56-65.) Pat-ta (Batta atau Batak) (mungkin wilayah Deli di Timur Laut Sumatera tapi yang lebih dekatnya adalah orang-orang Batak Pardembanan dari wilayah Asahan dan Simalungun) dan Pa-lin-fong (Palembang). Sin-f'o (Sunda) juga disebutkan, sebagaimana beberapa istilah lainnya di Thau isthmus/Semenanjung Malaysia dan Si-lan (Sri Lanka).

Istilah 'tergantung' sebenarnya sangat sulit untuk diartikan. Kemungkinan besar artinya adalah pengiriman upeti tahunan dari pada daerah jajahan.

Setelah gempuran bangsa Tamil di awal abad ke-7, stabilitas wilayah tersebut menjadi runtuh dan kacau. Di akhir abad ke 14, anarki pun tumbuh dimana-mana. (Wang Ta-yuan, for example, in his description of Lung Ύa Men or Tumasik (Singapore), refers to the situation at the eastern end of the Selat Melaka in the mid-fourteenth century, stating that "the people are accustomed to pillage." He goes on to say that "As there is neither good timber in the mountain nor fine goods for tribute, (the natives of Tumasik) could only trade with Chuan-chou with booty and plunder. When vessels sail to the west sea, the natives are quite at ease, but on their return voyage the crew have to put up arrow shelters and curtains, and sharpen their weapons against pirates, especially when they arrive at Chi-Li-Men (Karimun Islands). Two or three hundred boats of the pirates would come on silently and fight for several days. It would be fortunate if the traveller could meet a fair wind; otherwise the crew would be butchered and the merchandise would be looted." Wang also refers to Chinese settlers living in Tumasik at this time. Hsu Yun-Ts'iao, "Singapore in the Remote Past," JMBRAS 45,1 (1972): 1-9. See Henry Yule and Henri Cordier, The Book of Ser Marco Polo, 2 vols. (Reprint, Amsterdam: Philo Press, 1975), 2:299)

Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China. (31).

Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara. (Yule and Cordier, Ser Marco Polo, p. 300, n. 1. Odoric mentions that the people of Sumoltra (Samudra-Pasai) were in constant war with those of Lamori. 'The inhabitants (of Lamori) were very dark skinned, wrapped their bodies with silk stuffs, went bareheaded and barefoot. They used their hands in taking food. They were warlike and often used poisonous arrows... Household vessels are of bronze. The king is black, with unkempt hair and wears no covering on his head; he wears no regular clothes, but is merely wrapped in cloth of various colours, and his feet are protected by sandals of red leather (fastened) with gold thread. When going out he rides on an elephant or in a kind of litter. He cats every day a paste made of betel-nuts, burnt together with real pearl ashes. His palace is decked with jewels. There is an eastern and western palace [read 'throne halΓ], at each of which is planted a golden tree...Underneath each of these trees there is a golden throne with partition walls of glass. When holding court the king ascends the eastern throne in the morning and the western throne in the evening [an Indu custom]. Two attendants constantly hold up a golden dish [read 'spittoon'] to receive the dregs of the betel-nuts chewed by the king..." Whether or not this is all intended to apply to Lambri is unclear. Gerini notes, however, that both Marco Polo and Odoric recount the same tale stream there is an eddy setting southward from Ujung Empee, and there is a strong inset between Pulau Batee and Pulau Usamlakoh)

Wang Ta-yuan, menuliskan pada tahun 1349, tentang Nan-wu-li, yang katanya:

Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah.

Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek).

Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma.

Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur (the reference to camphor (kapur baros) by Wang Ta-yuan as an item of trade used by the Chinese is interesting. Baros (or Fansur: see below), some distance south of Lambri on the west coast of Aceh, was renowned for the quality of its camphor. A South Indian trading community had established itself at Lobu Tua (the name means "deserted village" in Toba Batak), near Barus and set up a stele inscribed in Tamil Grantha characters in AD 1088. Wang's remark seems to imply that Chinese traders sold camphor to the inhabitants of Lambri, presumably not only for immediate use but also, presumably, for resale), porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain.

Kapal-kapal yang berlabuh ke pedalaman melalui sungai dapat menghindarkan diri dari angin topan dan ombak serta keberuntungan akan menyelamatkannya dari monster-monster pedalaman, namun saat melewati tempat ini tanpa diragukan lagi akan masuk dalam ancaman harimau kecuali mereka dapat menangkap angin violet (The term "violet wind" may be a misprint in RockhilΓs rendition of Wang's description of Lambri.) dan keluar dari kawasan tersebut.

Cerita tersebut di atas kemungkinan besar ditujukan kepada pantai berbatu di sebelah barat Ujung Masam Muka (Aceh). (Yule quotes the Turkish author of the Molut, who says, "If you wish to reach Malacca, guard against seeing JAMISFULAH (possibly Pulau Beras), because the mountains of Lamri advance into the sea, and the flood tide there is very strong." This, he says, evidently means "Don't go near enough to Aceh Head to see even the islands in front of it." De Barros mentions that Caspar d'Acosta was lost on the island of Gomispola. See Yule and Cordier, Ser Marco Polo, p. 307).

Arus pasang naik berjalan menuju Aroih Raya (celah Cedar) antara pulau Peunasu dan Pulau Batee dan di Aroih Cut (celah surat) antara pulau Batee dan pantai antara Ujung Masam Muka dan Ujung Raja. (See Malacca Strait and West Coast of Sumatra Pilot , 5th ed. (London: Ministry of Defence, Hydrographic Department, 1971), p. 42. The east-going stream has a rate of from 4 to 5 knots at springs and the west-going stream from 5 to 6 knots; they run strongest along the northern side of Pulau Batee). Cengkeraman pasang, tampak seperti penghancur, dari Aroih Raya dan Aroih Cut.

Pada tahun 1365, kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit. (Th. C. Th. Pigeaud, Jam in the Fourteenth Century, 5 vols. (The Hague: Nyhoff, I960), 1:11)

Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho:

Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. (Mills, Ma Huan, pp. 122-23. It is interesting to note that this is the first literary reference to appear regarding the establishment of Islam in Aceh. DasGupta places the Islamicization of Aceh "somewhere between 1349 and 1412." For a full discussion of this matter, see Arun Kumar DasGupta, "Aceh in Indonesian Trade and Politics: 1600-1641" (PhD dissertation, Cornell University, 1962), pp. 10-16)

Ma Huan juga menyebutkan nama Pulai Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Mills, walaupun begitu, berkesimpulan bahwa nama lengkapnya adalah Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu.

Ma Huan menggambarkan Pulau Wei sebagai:

Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-mo-li, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah.

Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, (Mills notes that this was the equivalent of 20 feet 4 inches (6.01 m). Ibid., p. 123, n. 7) di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li. (Ibid., pp. 123-124)
Akhirnya, di awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar (45) terletak antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…".

Walaupun istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri".

Walaupun Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini.

Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka.

Adalah sangat mengherankan dimana Lambri tiba-tiba menghilang dari peta tanpa bekas. Walaupun toponim daerah tersebut sudah disebutkan selama tujuh ratus tahun. Salah satu bukti arkeologi keberadaan Buddha di wilayah Aceh pra-Islam adalah patung kepala Lokesvara yang ditemukan di Aceh dan sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Mungkin tidak ada lagi penemuan arkeologi Buddha sejak itu di sana. Walaupun begitu adalah sangat logis bahwa di sana terdapat periode Hindu pra-Islam. L.F. Brakel menduga bahwa pada abad ke-17 masih terdapat tradisi pra-Islam terutama mengenai konsep raja. Konsep tersebut terutama nampak pada kekuasaan kerajaan di Pasai dan Makota Alam. Di mengatakan bahwa Kesultanan Aceh dapat mudah dipahami dengan memakai konteks negri yang terhindukan.

Lucunya, terdapat banyak nama tempat di sekita Aceh Besar yang memakai nama India atau Sanskrit. Yang paling terkenal adalah Indrapuri, di Krueng Aceh (XXII Mukim), Indrapatra di Ladong, sebelah timur Banda Aceh (XXVI Mukim), dan Indrapurwa di Lambro (XXV Mukim) dekat Uleelheue dan Kuala Cangkoi.

By. Julkifli Marbun
loading...

BARUS HULU Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Theme images by richcano. Powered by Blogger.